Implikasi Hukum Adanya Globalisasi
Bisnis Franchise
Camelia Malik
Alumni Pascasarna FH UII Yogyakarta
Nama : Suri Putri Pertami
Kelas : 2EB08
NPM : 26211948
Implikasinya
terhadap Hukum Indonesia
Franchising pada saat ini telah berkembang
dengan pesat di Negara kita hal ini ditandai dengan banyaknya gerai-gerai yang
dibuka di setiap pusat perbelanjaan dan di keramaian. Kini, lembaga ini diakui
tidak saja sebagai alat untuk mendorong investasi pada skala internasional,
tapi juga sebagai teknik pemasaran yang membantu perkembangan bisnis kecil lokal.
Seperti telah dikemukakan di atas, bahwa franchising telah berkembang dengan
pesat di Indonesia mulai tahun 1980-an, tetapi hingga sekian lama belum
mendapatkan pengaturan hukumnya secara khusus yang memadai. Sehingga ada
sementara kalangan yang mempertanyakan dasar hukum
keberadaannya. Masih banyak di antara kita
yang berpendirian, bahwa lembaga hukum baru sebagaimana halnya franchising
tidak dapat diakui eksistensinya tanpa adanya dasar hukum sebelumnya. Seolah-olah
semua kegiatan kemasyarakatan hanya dapat dibenarkan, serta harus menunggu untuk
eksis dan berkembang setelah adanya peraturan prundangundangannya. Menurut
Setiawan, sikap semacam ini tentunya tidak dapat dibenarkan. Selanjutnya
Setiawan menjelaskan bahwa apabila dikatakan esensi franchising adalah
perjanjian pemberian lisensi, bukankah Buku III Kitab Undang-Undang Hukum
Perdata menganut sistem terbuka, sehingga semua perjanjian dapat dibenarkan
selama diadakan secara sah dan tidakbertentangan dengan UU serta kesusilaan. Sikap
ini tercermin dari pendirian Mahkamah Agung dalam menghadapi lembaga leasing.
Seperti halnya franchising, leasing juga belum diatur dalam UU (dalam arti
formal). Dalam putusan perkara M.M. Zen melawan PT Orient Bina Usaha Leasing
tidak diatur dalam KUHPerdata, namun dengan sistem terbuka yang dianut Buku III
KUHPerdata di mana terdapat asas kebebasan berkontrak, maka pihak-pihak bebas
mengadakan perjanjian apa saja selama tidak bertentangan dengan pasal 1320 KUHPerdata.
Dalam menghadapi lembaga franchising
seyogyanya juga dianut sikap yang sama seperti Mahkamah Agung. Ketiadaan
undang-undang, dengan catatan-catatan tertentu tidak boleh menghalangi
eksistensi berkembangnya lembaga franchising. Pada saat ini di Indonesia bisnis
waralaba ini diatur secara khusus dalam Keputusan Menteri Perindustrian dan
Perdagangan Nomor 259/MPP/Kep/7/1997 tanggal 30 Juli 1997. Tetapi undang-undang
ini hanya mengatur tentang administrasi bisnis waralaba di Indonesia. Undang-undang
ini belum mengatur tentang substansi hukum waralaba dan bagaimana memberikan
perlindungan bagi para pihak pewaralaba ataupun terwaralaba yang merasa
dirugikan oleh salah satu pihak. Secara umum, Pasal 1338 ayat (1) Kitab
Undang-Undang Hukum Perdata (KUHPerdata) merupakan payung waralaba sebelum
1997. Kini payung hukum waralaba diatur dalam Peraturan Pemerintah (PP)
waralaba No. 16 Tahun 1997. PP waralaba No. 16 Tahun 1997 ini merupakan suatu upaya
pemerintah untuk melakukan pembinaan dan perlindungan untuk meningkatkan
penggunaan sumber daya lokal dan pengusaha kecil menengah. Namun demikian PP
tersebut belum memberikan pengaturan hukum waralaba yang lebih rinci dan
komperehensif.
Penutup
Perkembangan bisnis waralaba tidak hanya
membawa pengaruh di bidang ekonomi, melainkan juga berdampak pada bidang hukum.
Ketika para pengusaha dari Amerika Serikat membuat kontrak waralaba dengan mitra
mereka yang berasal dari negara lain, selain membawa sistem bisnisnya mereka
juga membawa aturan hukum yang mengatur tentang bisnis waralaba. Sehingga
negara penerima waralaba tersebut harus mengadopsi aturan tersebut ke dalam
hukum nasional mereka agar dapat mengatur lebih lanjut tentang bisnis waralaba
sehingga mampu memberikan perlindungan bagi para pihak yang terkait dengan
bisnis ini terutama pihak franchisee.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar