Pages

Minggu, 05 Mei 2013

REVIEW VII - IMPLIKASI HUKUM ADANYA GLOBALISASI BISNIS FRANCHISE



Implikasi Hukum Adanya Globalisasi
Bisnis Franchise
Camelia Malik
Alumni Pascasarna FH UII Yogyakarta


Nama  : Suri Putri Pertami
Kelas    : 2EB08
NPM    : 26211948


Implikasinya terhadap Hukum Indonesia
Franchising pada saat ini telah berkembang dengan pesat di Negara kita hal ini ditandai dengan banyaknya gerai-gerai yang dibuka di setiap pusat perbelanjaan dan di keramaian. Kini, lembaga ini diakui tidak saja sebagai alat untuk mendorong investasi pada skala internasional, tapi juga sebagai teknik pemasaran yang membantu perkembangan bisnis kecil lokal. Seperti telah dikemukakan di atas, bahwa franchising telah berkembang dengan pesat di Indonesia mulai tahun 1980-an, tetapi hingga sekian lama belum mendapatkan pengaturan hukumnya secara khusus yang memadai. Sehingga ada sementara kalangan yang mempertanyakan dasar hukum
keberadaannya. Masih banyak di antara kita yang berpendirian, bahwa lembaga hukum baru sebagaimana halnya franchising tidak dapat diakui eksistensinya tanpa adanya dasar hukum sebelumnya. Seolah-olah semua kegiatan kemasyarakatan hanya dapat dibenarkan, serta harus menunggu untuk eksis dan berkembang setelah adanya peraturan prundangundangannya. Menurut Setiawan, sikap semacam ini tentunya tidak dapat dibenarkan. Selanjutnya Setiawan menjelaskan bahwa apabila dikatakan esensi franchising adalah perjanjian pemberian lisensi, bukankah Buku III Kitab Undang-Undang Hukum Perdata menganut sistem terbuka, sehingga semua perjanjian dapat dibenarkan selama diadakan secara sah dan tidakbertentangan dengan UU serta kesusilaan. Sikap ini tercermin dari pendirian Mahkamah Agung dalam menghadapi lembaga leasing. Seperti halnya franchising, leasing juga belum diatur dalam UU (dalam arti formal). Dalam putusan perkara M.M. Zen melawan PT Orient Bina Usaha Leasing tidak diatur dalam KUHPerdata, namun dengan sistem terbuka yang dianut Buku III KUHPerdata di mana terdapat asas kebebasan berkontrak, maka pihak-pihak bebas mengadakan perjanjian apa saja selama tidak bertentangan dengan pasal 1320 KUHPerdata.
Dalam menghadapi lembaga franchising seyogyanya juga dianut sikap yang sama seperti Mahkamah Agung. Ketiadaan undang-undang, dengan catatan-catatan tertentu tidak boleh menghalangi eksistensi berkembangnya lembaga franchising. Pada saat ini di Indonesia bisnis waralaba ini diatur secara khusus dalam Keputusan Menteri Perindustrian dan Perdagangan Nomor 259/MPP/Kep/7/1997 tanggal 30 Juli 1997. Tetapi undang-undang ini hanya mengatur tentang administrasi bisnis waralaba di Indonesia. Undang-undang ini belum mengatur tentang substansi hukum waralaba dan bagaimana memberikan perlindungan bagi para pihak pewaralaba ataupun terwaralaba yang merasa dirugikan oleh salah satu pihak. Secara umum, Pasal 1338 ayat (1) Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (KUHPerdata) merupakan payung waralaba sebelum 1997. Kini payung hukum waralaba diatur dalam Peraturan Pemerintah (PP) waralaba No. 16 Tahun 1997. PP waralaba No. 16 Tahun 1997 ini merupakan suatu upaya pemerintah untuk melakukan pembinaan dan perlindungan untuk meningkatkan penggunaan sumber daya lokal dan pengusaha kecil menengah. Namun demikian PP tersebut belum memberikan pengaturan hukum waralaba yang lebih rinci dan komperehensif.

Penutup
Perkembangan bisnis waralaba tidak hanya membawa pengaruh di bidang ekonomi, melainkan juga berdampak pada bidang hukum. Ketika para pengusaha dari Amerika Serikat membuat kontrak waralaba dengan mitra mereka yang berasal dari negara lain, selain membawa sistem bisnisnya mereka juga membawa aturan hukum yang mengatur tentang bisnis waralaba. Sehingga negara penerima waralaba tersebut harus mengadopsi aturan tersebut ke dalam hukum nasional mereka agar dapat mengatur lebih lanjut tentang bisnis waralaba sehingga mampu memberikan perlindungan bagi para pihak yang terkait dengan bisnis ini terutama pihak franchisee.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar