KEBIJAKAN KRIMINAL PENANGGULANGAN
TINDAK PIDANA EKONOMI DI INDONESIA
Iza Fadri
Pascasarjana Fakultas Hukum
Universitas Nasional
Jl. Sawo Manila Pajetan Pasar Minggu
Jakarta
Nama : Suri Putri Pertami
Kelas : 2EB08
NPM : 26211948
Tindak
Pidana Ekonomi Merupakan Pelanggaran Hukum Pidana Ekonomi
Mengenai konsep hukum pidana ekonomi, beberapa
pakar hukum telah mengemukakan pendapat, diantaranya adalah Andi Hamzah yang
menyatakan: bahwa hukum pidana ekonomi adalah bagain dari hukum pidana, yang
mempunyai corak-corak tersendiri, yaitu corak ekonomi. Sehingga dapat dikatakan
bahwa setiap ketentuan hukum pidana yang mempunyai orientasi pengaturan di
bidang ekonomi dapat dikategorikan sebagai hukum pidana ekonomi. Bambang
Poernomo mengemukakan pengertian hukum pidana ekonomi sebagai berikut:
“Hukum pidana ekonomi adalah bagian dari hukum
pidana yang mengatur tentang pelanggaran dan atau kejahatan dalam bidang
ekonomi. Tujuan diadakannya hukum pidana ekonomi bukanlah hanya untuk
menerapkan norma hukum dan menjatuhkan sanksi hukum pidana sekedar sebagai
pencegahan atau pembalasan, akan tetapi mempunyai tujuan jauh untuk membangun perekonomian
dan megejar kemakmuran untuk seluruh rakyat”.
Menurut H.A.K Moch Anwar, hukum pidana adalah
sekumpulan peraturan-peraturan dibidang ekonomi yang memuat ketentuan-ketentuan
tentang keharusan/kewajiban dan atau larangan terhadap pelanggaran mana diancam
dengan hukuman.
Dengan memperhatikan beberapa pengertian di
atas dapat disimpulkan bahwa hukum pidana ekonomi adalah seperangkat aturan
yang mengatur tentang kejahatan dan atau pelanggaran aturan yang di ditetapkan
oleh negara atau pemerintah dalam menata perekonomian ke arah terwujudnya
kehidupan yang berkesejahteraan dan berkeadilan. Hukum pidana ekonomi merupakan
ultimum remedium atau disebut juga sebagai senjata pamungkas, serta sering juga
dikemukakan oleh Muladi bahwa hukum pidana hanya bertindak sebagai “tentara
sewaan”/merchanary, dimana pengertian ini bisa juga diartikan bahwa hukum
pidana digunakan bukan hanya untuk kepentingan hukum itu sendiri tetapi adalah
untuk kepentingan tujuan yang lebih jelas yaitu untuk kepentingan ekonomi.
Negara secara hakiki dianggap bertanggungjawab dalam menciptakan kesejahteraan
bagi masyarakat yang berada didalamnnya sehingga peran negara mengarah pada
penciptaan perekonomian yang mendukung timbulnya kesejahteraan.
Pemerintah telah mengundangkan beberapa
undang-undang untuk menjamin agar kegiatan ekonomi dapat berjalan dengan baik
dan stabil. Substansi dari beberapa undang-undang tersebut telah memuat
ketentuan pidana sehingga pelanggaran atas ketentuanketentuan tersebut dianggap
sebagai tindak pidana ekonomi. Undang-undang pidana khusus di bidang
perekonomian tersebut diantaranya adalah: a. UU No. 10 Tahun 1998 tentang
Perubahan atas Undang-undang Nomor 7 Tahun 1992 tentang Perbankan; b. UU di
bidang Hak Atas Kekayaan Intelektual yang
meliputi: 1) UU No. 19 Tahun 2002 tentang Hak Cipta. 2) UU No. 14 Tahun 2001 tentang
Paten. 3) UU No. 15 Tahun 2001 tentang Merek. 4) UU No. 30 Tahun 2000 tentang
Rahasia Dagang. 5) UU No. 31 Tahun 2000 tentang Desain Industri. 6) UU No. 32
Tahun 2000 tentang Desain Tata Letak Sirkuit Terpadu. c. UU No. 15 Tahun 2002
tentang Tindak Pidana Pencucian Uang sebagaimana telah diubah dengan
Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2003; d. UU No. 28 Tahun 2007 tentang Perubahan
Ketiga Atas UU No. 6 Tahun 1983 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara
Perpajakan; e. UU No. 40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas; f. UU No.
5Tahun 1999 tentang larangan Praktek Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat;
g. UU No. 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen; h. UU No. 11 Tahun 2008 tentang
Informasi dan Transaksi Elektronik; i. UU No. 2 Tahun 1992 tentang Usaha Perasuransian;
j. UU No. 25 Tahun 2007 tentang Penanaman Modal; k. UU No. 8 Tahun 1995 tentang
Pasar Modal; dll.
Kebijakan
Kriminal Penanggulangan Tindak Pidana Ekonomi di Indonesia
Kebijakan kriminal merupakan usaha yang
rasional dari masyarakat untuk mencegah kejahatan dan mengadakan reaksi
terhadap kejahatan. Usaha yang rasional itu merupakan konsekuensi logis,
sebagai masalah yang termasuk masalah kebijakan, maka penggunaan hukum pidana
sebenarnya tidak merupakan suatu keharusan. Tidak ada kemutlakan dalam bidang
kebijakan karena pada hakikatnya dalam masalah kebijakan orang dihadapkan pada
masalah kebijakan penilaian dan pemilihan dari berbagai macam alternatif.
Kebijakan kriminal atau penanggulangan kejahatan pada hakikatnya merupakan
bagian integral dari upaya perlindungan masyarakat (social defence) dan upaya
mencapai kesejahtreraan masyarakat (social welfare). Oleh karena itu, dapat
dikatakan bahwa tujuan akhir atau tujuan utama dari kebijakan kriminal adalah
perlindungan masyarakat untuk mencapai kesejahteraan masyarakat. Dengan
demikian dapat dikatakan, bahwa kebijakan kriminal pada hakekatnya juga
merupakan bagian integral dari kebijakan publik. Kebijakan kriminal sebagai
bentuk kebijakan publik dalam menanggulangi masalah kejahatan, tidak dapat
lepas dari perubahan wacana dalam proses kebijakan publik. Selama ini kebijakan
kriminal dipahami sebagai ranah Sistem Peradilan Pidana (SPP) yang merupakan
representasi dari negara. Selain itu, kebijakan criminal juga lebih dipahami
sebagai upaya penegakan hukum saja. Dengan semakin meningkat, rumit dan
variatifnya masalah kejahatan, SPP tidak lagi dapat dijadikan satu-satunya
stakeholder dalam kebijakan kriminal. Khususnya dalam upaya pencegahan
kejahatan. Lembaga-lembaga negara yang difungsikan untuk melakukan pencegahan
kejahatan harus melakukan kolaborasi yang terlembagakan dengan masyarakat sipil
dan kalangan swasta. Selain sebagai sebuah proses kebijakan kolaboratif,
governance juga merupakan sebuah upaya mendekatkan pengambil kebijakan dengan
masyarakat berikut masalahnya. Sehingga salah satu agenda kelembagaan dalam
governance adalah melakukan reorganisasi hingga ke level terbawah masyarakat
negara. Seperti kebijakan desentralisasi dari pemerintah pusat ke pemerintah
daerah. Prinsip desentralisasi sangat memungkinkan pengambilan kebijakan yang
efektif karena pengambil kebijakan sangat dekat dengan level terbawah
masyarakat berikut masalah-masalah yang mereka hadapi. Oleh sebab itu, perlu
dirumuskan suatu pendekatan untuk menentukan kategorisasi perbuatan-perbuatan
apa di bidang perekonomian yang dapat diancam dengan pidana. Dengan perkataan
lain kapankah hukum pidana dapat “masuk” dalam ketentuan di bidang
perekonomian. Dalam hal ini, harus diketahui terlebih dahulu sifat dari hukum pidana.
Perlu dipahami bahwa hukum pidana mempunyai sifat “derita”, oleh karena pidana
merupakan suatu tindakan yang menyebabkan rasa derita bagi mereka yang dijatuhinya.
Selain itu, harus ditentukan apakah hukum pidana masih dianggap sebagai “ultimum
remedium”, ataukah harus digunakan sebagai “premum remedium”.
Persoalan utama lainnya adalah penentuan
prioritas aspek-aspek apa di bidang perekonomian yang mutlak harus diberikan
perlindungan dengan pengenaan sanksi pidana. Dengan perkataan lain, kaedah apa
dalam perekonomian yang tidak bisa tidak harus dilindungi melalui hukum pidana.
Ukuran yang mungkin dapat diutarakan adalah perlindungan terhadap keselamatan
bangsa (nation). Dalam arti sempit barangkali dapat dianalogkan dengan
kepentingan umum. Apabila keselamatan umum akan terancam, maka seyogyanya
ancaman sanksi pidana dijatuhkan. Hanya saja akan timbul permasalahan, apakah
yang dimaksud dengan kepentingan umum itu. Untuk menentukan kriteria dari
kepentingan umum ini tentunya perlu suatu ketegasan pengertian “kepentingan
umum”. Di sini hukum diposisikan sebagai alat untuk mencapai tujuan negara.
Terkait dengan ini Sunarjati Hartono pernah mengemukakan tentang
“hukum sebagai alat” sehingga secara praktis
politik hukum juga merupakan alat atau sarana dan langkah yang dapat digunakan
oleh pemerintah untuk menciptakan sistem hukum nasional guna mencapai cita-cita
bangsa dan tujuan negara. Politik hukum itu ada yang bersifat permanen atau
jangka panjang dan ada yang bersifat periodik. Politik hukum yang bersifat
permanen misalnya pemberlakuan prinsip pengujian yudisial, ekonomi kerakyatan,
keseimbangan antara kepastian hukum, keadilan, dan kemanfaatan, penggantian
hukum-hukum peninggalan kolonial dengan hukum-hukum nasional, penguasaan sumber
daya oleh negara, kemerdekaan kekuasaan kehakiman, dan sebagainya. Hal di atas
juga merupakan dasar mengapa sejauh ini di banyak Negara pengaturan tentang
tindak pidana ekonomi ini ditempatkan dalam ketentuan hukum pidana khusus.
Sebagai contoh dapat disebutkan De Wet van het Economische Delicten di negeri
Belanda. Undang-undang ini mengatur baik pidana formal maupun pidana materiilnya.
Terdapat banyak penyimpangan dari ketentuan pidana umum dalam undang-undang itu
yang tidak lain didasarkan sifat khusus di bidang perekomian.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar