Pages

Minggu, 05 Mei 2013

REVIEW III - KEBIJAKAN KRIMINAL PENANGGULANGAN TINDAK PIDANA EKONOMI DI INDONESIA



KEBIJAKAN KRIMINAL PENANGGULANGAN TINDAK PIDANA EKONOMI DI INDONESIA
Iza Fadri
Pascasarjana Fakultas Hukum Universitas Nasional
Jl. Sawo Manila Pajetan Pasar Minggu Jakarta
Nama  : Suri Putri Pertami
Kelas    : 2EB08
NPM    : 26211948

Tindak Pidana Ekonomi Merupakan Pelanggaran Hukum Pidana Ekonomi
Mengenai konsep hukum pidana ekonomi, beberapa pakar hukum telah mengemukakan pendapat, diantaranya adalah Andi Hamzah yang menyatakan: bahwa hukum pidana ekonomi adalah bagain dari hukum pidana, yang mempunyai corak-corak tersendiri, yaitu corak ekonomi. Sehingga dapat dikatakan bahwa setiap ketentuan hukum pidana yang mempunyai orientasi pengaturan di bidang ekonomi dapat dikategorikan sebagai hukum pidana ekonomi. Bambang Poernomo mengemukakan pengertian hukum pidana ekonomi sebagai berikut:
“Hukum pidana ekonomi adalah bagian dari hukum pidana yang mengatur tentang pelanggaran dan atau kejahatan dalam bidang ekonomi. Tujuan diadakannya hukum pidana ekonomi bukanlah hanya untuk menerapkan norma hukum dan menjatuhkan sanksi hukum pidana sekedar sebagai pencegahan atau pembalasan, akan tetapi mempunyai tujuan jauh untuk membangun perekonomian dan megejar kemakmuran untuk seluruh rakyat”.
Menurut H.A.K Moch Anwar, hukum pidana adalah sekumpulan peraturan-peraturan dibidang ekonomi yang memuat ketentuan-ketentuan tentang keharusan/kewajiban dan atau larangan terhadap pelanggaran mana diancam dengan hukuman.
Dengan memperhatikan beberapa pengertian di atas dapat disimpulkan bahwa hukum pidana ekonomi adalah seperangkat aturan yang mengatur tentang kejahatan dan atau pelanggaran aturan yang di ditetapkan oleh negara atau pemerintah dalam menata perekonomian ke arah terwujudnya kehidupan yang berkesejahteraan dan berkeadilan. Hukum pidana ekonomi merupakan ultimum remedium atau disebut juga sebagai senjata pamungkas, serta sering juga dikemukakan oleh Muladi bahwa hukum pidana hanya bertindak sebagai “tentara sewaan”/merchanary, dimana pengertian ini bisa juga diartikan bahwa hukum pidana digunakan bukan hanya untuk kepentingan hukum itu sendiri tetapi adalah untuk kepentingan tujuan yang lebih jelas yaitu untuk kepentingan ekonomi. Negara secara hakiki dianggap bertanggungjawab dalam menciptakan kesejahteraan bagi masyarakat yang berada didalamnnya sehingga peran negara mengarah pada penciptaan perekonomian yang mendukung timbulnya kesejahteraan.
Pemerintah telah mengundangkan beberapa undang-undang untuk menjamin agar kegiatan ekonomi dapat berjalan dengan baik dan stabil. Substansi dari beberapa undang-undang tersebut telah memuat ketentuan pidana sehingga pelanggaran atas ketentuanketentuan tersebut dianggap sebagai tindak pidana ekonomi. Undang-undang pidana khusus di bidang perekonomian tersebut diantaranya adalah: a. UU No. 10 Tahun 1998 tentang Perubahan atas Undang-undang Nomor 7 Tahun 1992 tentang Perbankan; b. UU di bidang Hak Atas Kekayaan  Intelektual yang meliputi: 1) UU No. 19 Tahun 2002 tentang Hak Cipta. 2) UU No. 14 Tahun 2001 tentang Paten. 3) UU No. 15 Tahun 2001 tentang Merek. 4) UU No. 30 Tahun 2000 tentang Rahasia Dagang. 5) UU No. 31 Tahun 2000 tentang Desain Industri. 6) UU No. 32 Tahun 2000 tentang Desain Tata Letak Sirkuit Terpadu. c. UU No. 15 Tahun 2002 tentang Tindak Pidana Pencucian Uang sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2003; d. UU No. 28 Tahun 2007 tentang Perubahan Ketiga Atas UU No. 6 Tahun 1983 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan; e. UU No. 40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas; f. UU No. 5Tahun 1999 tentang larangan Praktek Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat; g. UU No. 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen; h. UU No. 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik; i. UU No. 2 Tahun 1992 tentang Usaha Perasuransian; j. UU No. 25 Tahun 2007 tentang Penanaman Modal; k. UU No. 8 Tahun 1995 tentang Pasar Modal; dll.

Kebijakan Kriminal Penanggulangan Tindak Pidana Ekonomi di Indonesia
Kebijakan kriminal merupakan usaha yang rasional dari masyarakat untuk mencegah kejahatan dan mengadakan reaksi terhadap kejahatan. Usaha yang rasional itu merupakan konsekuensi logis, sebagai masalah yang termasuk masalah kebijakan, maka penggunaan hukum pidana sebenarnya tidak merupakan suatu keharusan. Tidak ada kemutlakan dalam bidang kebijakan karena pada hakikatnya dalam masalah kebijakan orang dihadapkan pada masalah kebijakan penilaian dan pemilihan dari berbagai macam alternatif. Kebijakan kriminal atau penanggulangan kejahatan pada hakikatnya merupakan bagian integral dari upaya perlindungan masyarakat (social defence) dan upaya mencapai kesejahtreraan masyarakat (social welfare). Oleh karena itu, dapat dikatakan bahwa tujuan akhir atau tujuan utama dari kebijakan kriminal adalah perlindungan masyarakat untuk mencapai kesejahteraan masyarakat. Dengan demikian dapat dikatakan, bahwa kebijakan kriminal pada hakekatnya juga merupakan bagian integral dari kebijakan publik. Kebijakan kriminal sebagai bentuk kebijakan publik dalam menanggulangi masalah kejahatan, tidak dapat lepas dari perubahan wacana dalam proses kebijakan publik. Selama ini kebijakan kriminal dipahami sebagai ranah Sistem Peradilan Pidana (SPP) yang merupakan representasi dari negara. Selain itu, kebijakan criminal juga lebih dipahami sebagai upaya penegakan hukum saja. Dengan semakin meningkat, rumit dan variatifnya masalah kejahatan, SPP tidak lagi dapat dijadikan satu-satunya stakeholder dalam kebijakan kriminal. Khususnya dalam upaya pencegahan kejahatan. Lembaga-lembaga negara yang difungsikan untuk melakukan pencegahan kejahatan harus melakukan kolaborasi yang terlembagakan dengan masyarakat sipil dan kalangan swasta. Selain sebagai sebuah proses kebijakan kolaboratif, governance juga merupakan sebuah upaya mendekatkan pengambil kebijakan dengan masyarakat berikut masalahnya. Sehingga salah satu agenda kelembagaan dalam governance adalah melakukan reorganisasi hingga ke level terbawah masyarakat negara. Seperti kebijakan desentralisasi dari pemerintah pusat ke pemerintah daerah. Prinsip desentralisasi sangat memungkinkan pengambilan kebijakan yang efektif karena pengambil kebijakan sangat dekat dengan level terbawah masyarakat berikut masalah-masalah yang mereka hadapi. Oleh sebab itu, perlu dirumuskan suatu pendekatan untuk menentukan kategorisasi perbuatan-perbuatan apa di bidang perekonomian yang dapat diancam dengan pidana. Dengan perkataan lain kapankah hukum pidana dapat “masuk” dalam ketentuan di bidang perekonomian. Dalam hal ini, harus diketahui terlebih dahulu sifat dari hukum pidana. Perlu dipahami bahwa hukum pidana mempunyai sifat “derita”, oleh karena pidana merupakan suatu tindakan yang menyebabkan rasa derita bagi mereka yang dijatuhinya. Selain itu, harus ditentukan apakah hukum pidana masih dianggap sebagai “ultimum remedium”, ataukah harus digunakan sebagai “premum remedium”.
Persoalan utama lainnya adalah penentuan prioritas aspek-aspek apa di bidang perekonomian yang mutlak harus diberikan perlindungan dengan pengenaan sanksi pidana. Dengan perkataan lain, kaedah apa dalam perekonomian yang tidak bisa tidak harus dilindungi melalui hukum pidana. Ukuran yang mungkin dapat diutarakan adalah perlindungan terhadap keselamatan bangsa (nation). Dalam arti sempit barangkali dapat dianalogkan dengan kepentingan umum. Apabila keselamatan umum akan terancam, maka seyogyanya ancaman sanksi pidana dijatuhkan. Hanya saja akan timbul permasalahan, apakah yang dimaksud dengan kepentingan umum itu. Untuk menentukan kriteria dari kepentingan umum ini tentunya perlu suatu ketegasan pengertian “kepentingan umum”. Di sini hukum diposisikan sebagai alat untuk mencapai tujuan negara. Terkait dengan ini Sunarjati Hartono pernah mengemukakan tentang
“hukum sebagai alat” sehingga secara praktis politik hukum juga merupakan alat atau sarana dan langkah yang dapat digunakan oleh pemerintah untuk menciptakan sistem hukum nasional guna mencapai cita-cita bangsa dan tujuan negara. Politik hukum itu ada yang bersifat permanen atau jangka panjang dan ada yang bersifat periodik. Politik hukum yang bersifat permanen misalnya pemberlakuan prinsip pengujian yudisial, ekonomi kerakyatan, keseimbangan antara kepastian hukum, keadilan, dan kemanfaatan, penggantian hukum-hukum peninggalan kolonial dengan hukum-hukum nasional, penguasaan sumber daya oleh negara, kemerdekaan kekuasaan kehakiman, dan sebagainya. Hal di atas juga merupakan dasar mengapa sejauh ini di banyak Negara pengaturan tentang tindak pidana ekonomi ini ditempatkan dalam ketentuan hukum pidana khusus. Sebagai contoh dapat disebutkan De Wet van het Economische Delicten di negeri Belanda. Undang-undang ini mengatur baik pidana formal maupun pidana materiilnya. Terdapat banyak penyimpangan dari ketentuan pidana umum dalam undang-undang itu yang tidak lain didasarkan sifat khusus di bidang perekomian.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar