KEBIJAKAN KRIMINAL PENANGGULANGAN
TINDAK PIDANA EKONOMI DI INDONESIA
Iza Fadri
Pascasarjana Fakultas Hukum
Universitas Nasional
Jl. Sawo Manila Pajetan Pasar Minggu
Jakarta
Nama : Suri Putri Pertami
Kelas : 2EB08
NPM : 26211948
Aspek-aspek
socio-legal yang perlu dipertimbangkan dan mendapat perhatian serius dari
Pemerintah dalam rangka Pembaruan Kebijakan Kriminal Penanggulangan Tindak
Pidana Ekonomi di Indonesia
Pendekatan sistem sebagai bagian dari teori
manajemen, ketika dikonstruksikan ke dalam suatu pencapaian ide atau tujuan
dirasakan sangat relevan dalam upaya menerangkan proses konsepsi ilmu secara
menyeluruh. Pendekatan sistem sebagai suatu bentuk telaah manajerial secara
umum juga dapat dimanfaatkan untuk menerangkan permasalahan hukum, baik
ditingkat teori maupun dalam implementasinya. Dalam kerangka teori pendekatan
sistem, secara mudah dapat dicerna melalui teori yang dikemukakan oleh Roscoe
Pound yaitu bahwa hukum adalah sebagai alat rekayasa sosial (social
engineering), yaitu penggunaan hukum secara sadar untuk mencapai suatu tertib
atau keadaan masyarakat sebagaimana dicita-citakan atau untuk melakukan perubahan-perubahan
yang diinginkan.
Selanjutnya Lawrence M. Friedman menyebutkan
bahwa sistem hukum terdiri dari 3 (tiga) elemen, pertama, stuktur hukum (legal
stucture), kedua, substansi hukum (legal substantiance) dan ketiga, budaya
hukum (legal culture). Ketiga elemen legal system tersebut merupakan jalinan
keterpaduan yang saling mengisi dan melengkapi. Dalam ilustrasi Friedman
dijelaskan, “another way to visualize the three elements of law is to imagine
legal ’stucture’ as a kind of machine. Substance is what the machine
manufactures or does. The “legal culture” is whatever or whoever decides to
turn the machineon and off and determines how it will be used”.
Kerangka pemikiran Friedman di atas dari
perspektif sistem cukup relevan untuk mencermati timbulnya fenomena tindak
pidana ekonomi dalam kegiatan perekonomian. Apabila dicoba untuk mengamati
hubungan antara hukum dengan ekonomi, maka sepintas lalu kelihatannya di antara
keduanya tidak ada hubungan.
Pada waktu terjadi tindak pidana ekonomi, maka
hukum pidana ekonomi memberikan tanda bahwa diperlukan suatu tindakan agar
pelanggaran itu diselesaikan. Pembiaran terhadap pelanggaran hukum itu tanpa
penyelesaian akan menghambat terciptanya suatu kerjasama yang produktif dalam
masyarakat. Pada saat itulah dibutuhkan mekanisme yang mampu mengintegrasikan
kekuatan-kekuatan dalam masyarakat, sehingga dapat diciptakan atau dipulihkan
suatu proses kerjasama yang produktif. Pada saat hukum mulai bekerja, maka pada
saat itu pula mulai dilihat betapa bekerjanya hukum itu sebagai mekanisme
pengintegrasi melibatkan pula ketiga proses yang lain, berupa pemberian
masukan-masukan yang nantinya diubah menjadi keluaran-keluaran. Masukan-masukan
tersebut dapat dijelaskan sebagai berikut:
Pertama, masukan di bidang ekonomi. Fungsi
adaptif atau proses ekonomi memberikan bahan informasi kepada hukum mengenai
bagaimana penyelesaian sengketa itu dilihat sebagai suatu proses untuk
mempertahankan kerjasama yang produktif. Untuk dapat menyelesaikan sengketa
tersebut, hukum membutuhkan keterangan mengenai latar belakang sengketa dan
bagaimana kemungkinannya pada waktu yang akan datang apabila sesuatu keputusan
dijatuhkan. Pertukaran antara proses integrasi dan adaptasi atau antara proses
hukum dan ekonomi ini menghasilkan keluaran yang berupa pengorganisasian atau
penstrukturan masyarakat. Melalui keputusan-keputusan hukum itu ditegaskan apa
yang merupakan hak-hak, kewajiban-kewajiban, pertanggung jawaban, dan
lain-lain. Keluaran yang berupa pengaruh yang datang dari pengorganisasian
kembali oleh keputusan hukum ini tampak dalam keputusan-keputusan yang
benar-benar menimbulkan perubahan dalam struktur atau organisasi bidang ekonomi
tersebut. Contoh mengenai hal ini adalah Keputusan Hoge Raad mengenai perluasan
penafsiran terhadap Pasal 1401 Bugerlijk Wetboek, yaitu mengenai perbuatan
melawan hukum pada tanggal 31 Januari 1919.
Kedua, masukan bidang politik. Proses politik
ini menggarap masalah penentuan tujuan-tujuan yang harus dicapai oleh
masyarakat dan negara serta bagaimana mengorganisasi dan memobilisasi
sumber-sumber daya yang ada untuk mencapainya. Hukum, dalam hal ini pengadilan,
menerima masukan dari sector politik ini dalam bentuk petunjuk tentang apa dan
bagaimana menjalankan fungsinya.
Untuk memudahkan perumusan kebijakan kriminal
penanggulangan tindak pidana ekonomi dapat dikemukakan bagan sebagai berikut :
·
Kebijakan hukum
pidana ekonomi
·
Kebijakan hukum
·
Kebijakan hukum
yang integral
·
Kebijakan social
defence/security
·
Kebijakan social
walfare/prosperity
·
Kebijakan sosial
(yang dirumuskan dalam RPJM dan RPJP)
Penutup
Tindak pidana ekonomi sebagai suatu bentuk
terminologi hukum secara factual mengalami perubahan pemaknaan dari waktu
kewaktu. Secara substantif tindak pidana ekonomi berawal dari pelanggaran
terhadap etika bisnis, selanjutnya berkembang menjadi pelanggaran hukum pidana
ekonomi ketika substansi pelanggaran tersebut telah diatur dalam peraturan
perundang-undangan bidang ekonomi yang tersebar.
Kebijakan kriminal penanggulangan tindak
pidana ekonomi sebagai bentuk kebijakan publik untuk menanggulangi masalah kejahatan
perekonomian, masih menitik beratkan pada upaya kriminalisasi melalui peraturan
perundang-undangan dan penegakan hukum oleh SPP. Aktor-aktor non SPP belum
diberdayakan secara maksimal dalam penanggulangan tindak pidana ekonomi melalui
upaya pencegahan. Pembaruan kebijakan kriminal penanggulangan tindak pidana
ekonomi membutuhkan mekanisme yang mampu mengintegrasikan kekuatan-kekuatan
dalam masyarakat yang meliputi kekuatan
ekonomi, politik dan kebudayaan, sehingga dapat menciptakan suatu proses kerjasama
yang produktif. Kekuatan-kekuatan dalam masyarakat tersebut selanjutnya
diperinci dalam beberapa aspek socio-legal seperti Kebijakan sosial (yang
dirumuskan dalam RPJM dan RPJP), Kebijakan social walfare/prosperity, Kebijakan
social defence/security, Kebijakan hukum, Kebijakan hukum pidana ekonomi, dan
Kebijakan hukum yang integral.
Dalam rangka menciptakan suatu sistem hukum
yang kondusif kondusif bagi kegiatan perekonomian, khususnya untuk merespon
perkembangan politik dan perekonomian nasional serta internasional, perlu
dibangkitkan budaya hukum yang responsif dengan memberikan kesempatan kepada
berbagai lapisan masyarakat untuk berpartisipasi aktif dalam proses pembentukan
hukum. Guna menciptakan hukum pidana ekonomi yang dapat mengakomodasi
kepentingan hukum di satu sisi dan kepentingan
perekonomian di sisi lain, maka dibutuhkan suatu kajian yang menyeluruh dan
terintegrasi secara sistemik. Oleh karenanya diperlukan suatu rumusan hukum
pidana ekonomi yang dapat diimplementasikan dalam suatu bentuk kebijakan.
Pemenuhan terhadap cita-cita ini mensyaratkan adanya elaborasi yang terpadu
secara lintas disiplin keilmuan, misalnya dari disiplin ilmu ekonomi,
sosiologi, hukum, lingkungan dll. Adanya elaborasi dari berbagai disiplin ilmu,
diharapkan akan mampu menghasilkan suatu rumusan hukum pidana ekonomi yang
komprehensif dan dapat mengakomodasi berbagai kepentingan.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar