Pages

Minggu, 05 Mei 2013

REVIEW IX - POLITIK HUKUM UU BIDANG EKONOMI DI INDONESIA


POLITIK HUKUM UU BIDANG EKONOMI DI INDONESIA
- Hikmahanto Juwana –



Nama  : Suri Putri Pertami
Kelas    : 2EB08
NPM    : 26211948

C. RAGAM KEBIJAKAN PEMBERLAKUAN UUBIDANG EKONOMI
Dalam penelitian atas UU bidang ekonomi maka paling tidak ada 14 (empat belas) kebijakan pemberlakuan. Dari keempat belas tersebut, 9 (sembilan) kebijakan pemberlakuan masuk dalam katagori faktor internal dan 5 (lima) masuk dalam katagori faktor eksternal. Berikut akan dibahas satu per satu keempat belas kebijakan pemberlakuan tersebut.

1. Faktor Internal
Di Indonesia kebijakan pemberlakuan UU yang dipengaruhi oleh faktor internal kerap dijadikan alasan filosofis atau sosiologis dari pembentukan UU. Umumnya kebijakan pemberlakuan ini dapat dilihat secara eksplisit dalam konsiderans menimbang ataupun penjelasan umum. Perumusan kebijakan pemberlakuan yang termaktub dalam konsiderans menimbang ataupun
penjelasan umum dibuat dengan menggunakan kalimat yang sangat panjang dan berisi lebih dari satu pokok pikiran. Bahkan, perumusan kalimat bersifat hiperbolis dengan menggunakan
kata-kata yang memiliki pengertian yang sangat luas dan abstrak.
a. Mencapai Tujuan Pembangunan Nasional
Dalam UU bidang ekonomi yang diteliti hampir semua menyebutkan diberlakukan suatu UU adalah dalam rangka pembangunan nasional hanya dilakukan apabila ada keterkaitan yang erat dengan apa yang hendak diatur, semisal UU Penanaman Modal Asing. Kebijakan pemberlakuan berupa pembangunan nasional secara kritis dapat dipertanyakan. Apakah pencantuman pembangunan nasional dalam pembentukan UU bidang ekonomi merupakan suatu keharusan? Apakah penyebutan dilakukan karena Indonesia sebagai negara berkembang yang sedang dalam proses membangun? Apabila demikian bukankah tanpa pembangunan nasional sekalipun, Indonesia akan tetap membutuhkan UU? Selanjutnya, bukankah berbagai UU dapat dibentuk dengan alasan pembangunan nasional? Berbagai pertanyaan ini pada akhirnya akan
menjurus pada kesimpulan bahwa kebijakan pemberlakuan berupa pembangunan nasional dicantumkan tidak lain sebagai suatu formalitas belaka. Ini hampir sama seperti pada suatu ketika setiap UU yang dikeluarkan mencantumkan kata ‘revolusi.’ Sudah saatnya dalam pembentukan UU bidang ekonomi ke depan kebijakan pemberlakuan berupa pembangunan nasional tidak lagi dicantumkan. Ini untuk menghindari penyebutan pembangunan nasional sebagai sesuatu yang sakral meskipun tanpa makna. Terlebih lagi mengingat kebijakan pemberlakuan berupa pembangunan nasional tidak perlu dicerminkan dalam bentuk perumusan pasal.
b. Menggantikan Ketentuan yang TelahUsang
Kebijakan pemberlakuan yang berikutnya adalah dalam rangka mengganti ketentuan yang telah usang. Penggantian ketentuan yang usang sangat terrefleksi dalam perumusan pasal berbagai UU bidang ekonomi. Bila dibuat dalam bentuk matriks maka dapat dilihat secara jelas perbedaan antara ketentuan yang lama denganketentuan yang baru.
c. Merespons Kebutuhan Masyarakat
Merespons kebutuhan masyarakat merupakan kebijakan pemberlakuan yang sering disebut dalam berbagai UU bidang ekonomi. Dalam konsiderans menimbang maupun penjelasan umum kebanyakan UU bidang ekonomi menyebutkan bahwa UU yang dibentuk bertujuan untuk merespons kebutuhan masyarakat atau dalam rangka mewujudkan suatu masyarakat adil dan makmur. Sayangnya, kebijakan pemberlakuan ini terkesan sebagai formalitas belaka daripada sungguh-sungguh merespons kebutuhan masyarakat. Kesan ini didasarkan pada beberapa indikasi. Pertama, mayoritas masyarakat terkadang tidak merasa memiliki kebutuhan yang demikian besar sehingga memerlukan suatu UU bidang ekonomi. Bahkan, masyarakat mustahil dapat secara langsung menikmati berbagai keuntungan dari UU yang dibuat. Sebagai contoh dalam UU Rahasia Dagang meskipun di situ jelas-jelas disebut demi kepentingan masyarakat namun menjadi pertanyaan besar apakah masyarakat memang memerlukannya? Kedua, penggunaan istilah “masyarakat” sangat kabur. Mungkin saja pembuat UU hanya memfokuskan pada masyarakat yang jumlahnya tidaklah mayoritas. Ada kecenderungan pembuat UU bila memikirkan masyarakat, masyarakat yang mereka maksud terbatas pada masyarakat di Jakarta atau kota-kota besar.
d. Memenuhi Keinginan Memiliki HukumModern
Kebijakan pemberlakuan UU bidang ekonomi selanjutnya adalah dalam rangka memenuhi keinginan Indonesia untuk memiliki hukum modern.41 Kebijakan pemberlakuan ini meskipun sekilas sama dengan mengganti ketentuan yang usang namun keduanya harus dibedakan. Mengganti ketentuan yang using adalah keadaan di mana sudah ada ketentuan tetapi ketentuan tersebut dianggap tidak memadai lagi. Sementara memenuhi hasrat memiliki hukum modern adalah suatu kondisi di mana sebelumnya belum ada pengaturan di bidang tersebut. Harus diakui bahwa hukum modern tidak lain adalah hukum yang dikenal di AS ataupun di sejumlah negara Eropa. Hukum modern bukanlan hukum yang sama sekali baru namun merupakan UU yang secara nyata dibutuhkan pada masyarakat industri.

2. Faktor Eksternal
Faktor eksternal bisa mempengaruhi pembentuk UU karena adanya ketergantungan Indonesia secara ekonomi terhadap mereka. Semakin sebuah negara tergantung secara ekonomi pada negara lain atau lembaga keuangan internasional maka semakin rentan negara tersebut untuk diintervensi. Faktor eksternal mempengaruhi pembentuk UU melalui dua cara. Pertama dengan memberi insentif. Insentif yang dimaksud berupa hibah atau keistimewaan tertentu (pemberian kuota dalam perdagangan internasional). Pemberian insentif ini kemudian dikaitkan dengan syarat untuk memberlakukan UU bidang ekonomi tertentu. Bila tidak, insentif akan dibatalkan atau ditunda. Cara kedua adalah dengan menerapkan sanksi. Apabila pemerintah tidak memberlakukan UU bidang ekonomi yang diinginkan maka negara atau lembaga keuangan internasional terkait akan mengenakan sanksi. Sanksi dapat berupa penghentian fasilitas, ditundanya pemberian utang, bahkan memasukkan Indonesia ke dalam black list dan lain sebagainya. Cara terakhir ini sering dilakukan dalam katian dengan UU Bidang HKI.
a. Melindungi Investor
Negara donor dan lembaga keuangan internasional mempengaruhi pemerintah Indonesia untuk memberlakukan UU bidang ekonomi dengan tujuan untuk melindungi investasi yang dilakukan oleh para pelaku usaha mereka. Hal ini merupakan suatu hal yang wajar mengingat perlindungan bagi investor asal negara donor didasarkan pada kewajiban setiap negara untuk melindungi individu dan badan hukum yang menjadi warga negaranya. Kewajiban ini muncul dalam konteks hokum internasional. Di samping itu, sebagai pembayar pajak para pelaku usaha berhak mendapat perlindungan dari negaranya. Perlindungan terhadap investor dilakukan pada saat para investor tidak mempunyai posisi tawar (bargaining position) yang seimbang bila berhadapan dengan negara penerima investasi. Para investor biasanya akan menyampaikan
keluhan mereka kepada negaranya dan negaralah yang kemudian berhadapan dengan negara
penerima investasi. Mengingat negara asal investor umumnya adalah negara maju yang memiliki andil juga dalam lembaga keuangan internasional maka mereka dapat mempengaruhi pemerintah Indonesia secara langsung ataupun melalui lembaga keuangan internasional.
b. Membuka Akses Pasar Indonesia Lebih Luas
Bagi negara maju, negara berkembang adalah pasar yang sangat potensial bagi barang dan jasa yang dihasilkan oleh para pelaku usahanya. Tidak sedikit negara maju yang menggantungkan perekonomian nasionalnya pada investasi yang dilakukan oleh pelaku usahanya di luar negeri. Namun permasalahan yang sering dihadapi oleh pelaku usaha Negara maju adalah pasar dari negara berkembang kerap sangat tertutup. Tertutupnya pasar Negara berkembang bisa bermacam-macam, mulai dari alasan proteksi industri dalam negeri hingga pemberian keistimewaan bagi pelaku usaha lokal yang dekat dengan elit kekuasaan
Indonesia.
c. Melakukan Harmonisasi Hukum Indonesia
Dari perspektif negara maju, harmonisasi hukum di negara berkembang merupakan suatu hal penting untuk dicapai. Harmonisasi yang menjurus pada keseragaman di bidang infrastruktur hukum akan berdampak pada kenyamanan untuk berinvestasi dari pelaku usaha negara maju di negara berkembang. Inipenting di era dunia yang tidak mengenal batas (borderless world) dan transaksi lintas batas yang memerlukan pengaturan hukum.
d. Memastikan Pembayaran Utang
Permintaan negara pemberi utang maupun lembaga keuangan internasional untuk memberlakukan UU bidang ekonomi juga dilakukan dalam rangka memastikan pembayaran utang Indonesia. Alasannya, infrastruktur hukum yang semakin ramah dengan investor (investor friendly) akan meningkatkan jumlah investasi asing dan mengefisienkan perekonomian Indonesia. Perekonomian Indonesia yang membaik dan stabil pada gilirannya akan berpengaruh pada pembayaran utang oleh Indonesia.
e. Merespons Kebutuhan Masyarakat
Dalam berbagai kesempatan Negara donor ataupun lembaga keuangan internasional tidak akan secara terbuka mengungkap kepentingan sebenarnya dalam mempengaruhi pemerintah suatu negara untuk membentuk suatu UU. Mereka akan membungkus kepentingan tersebut dengan mengatakan bahwa apa yang dilakukan adalah demi kebaikan dan kebutuhan masyarakat dari
negara tersebut.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar