KEBIJAKAN KRIMINAL PENANGGULANGAN
TINDAK PIDANA EKONOMI DI INDONESIA
Iza Fadri
Pascasarjana Fakultas Hukum
Universitas Nasional
Jl. Sawo Manila Pajetan Pasar Minggu
Jakarta
Nama : Suri Putri Pertami
Kelas : 2EB08
NPM : 26211948
Hasil dan
Pembahasan
Perkembangan
Tindak Pidana Ekonomi di Indonesia
Perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi
semakin hari semakin pesat. Perkembangan secara factual tidak bisa dipisahkan
dari perkembangan ekonomi, karena kedua perkembangan ini saling mendukung satu
sama lain.
Mengenai hubungan dialektika antara
perkembangan teknologi dan ekonomi di satu sisi dengan perkembangan kejahatan
ekonomi, Bakat Purwanto mengemukakan:
“Perkembangan IPTEK tersebut akan memacu
pertumbuhan jenis-jenis kejahatn tertentu. Karena setian perkembangan budaya
manusia selalu diikuti dengan perkembangan kriminalitas,”crime is ashadow of civilization”. Hukum pidana harus mengikuti
perkembangan kriminalitas itu, sehingga diharapkan rasa keadilan dalam masyarakat dapat dijamin serta
hukum tidak ketinggalan jaman. Bahkan hukum harus dapat mencegah dan mengatasi
kejahatan-kejahatan yang bakal muncul”.
Tindak pidana adalah perilaku (conduct) yang
oleh undang-undang pidana yang berlaku (hukum pidana positif) telah
dikriminalisasi, oleh karena itu, pelakunya dapat dijatuhi sanksi pidana.
Istilah tindak pidana dalam pustaka hukum bahasa Inggris digunakan istilah
crime atau offence. Sesuai dengan pembagian perilaku menjadi commission dan omission,
tindak pidana juga dapat dikategorikan sebagai criminal act atau criminal
commission dan criminal omission.
Hal itu dapat disimpulkan dari berbagai
tulisan berbahasa Inggris yang dikarang oleh beberapa ahli hukum mengenai
definisi atau pengertian dari crime. Menurut Blackstone:
“A crime was a violation of the public rights
and duties due to the whole community considered as acommunity”. This
definition came from mideighteenth century from one ofthe leading commentator
on English Law. More up to date are the definitions which include a breach of
duty imposed by law for the benefit of community at large” and a wrong “whose
sanction is punitive and is no way remissible by the Crown alone if remissible
at all”.
Tindak pidana ekonomi apabila dilihat secara substantif
pada hakekatnya merupakan suatu bentuk pelanggaran terhadap etika dan hukum.
Bidang cakupan kedua disiplin tersebut sebenarnya saling jalin-menjalin dan
tidak tumpang tindih. Hukum menemukan batas-batasnya dalam wujud potensi
pemberdayaan pada tingkat praktis dan seberapa jauh fakta dapat diverifikasi.
Karena itu, hukum hanya dapat diejawantahkan melalui proses hukum acara yang
formal. Sementara etika (tertib moral) pada dasarnya merupakan infrastruktur
hukum. Banyak larangan atau perintah hukum yang selintas tampak tidak membumi
seringkali megungkapkan landasan etik setelah ditelaah lebih mendalam.
Thomas Aquino mengatakan sebagai berikut:
“ketaatan terhadap suatu peraturan yang
meragukan ternyata memiliki kandungan nilai moralitas menjaga kewibawaan tertib
negara. Karena itu, kita harus tetap menghormatinya dalam hati nurani kita
(proper vitandum scandalum vel turbationem) kecuali bila kita berkeyakinan
untuk melakukan revolusi karena ternyata negara tidak dapat menjalankan
tugasnya dengan baik”.
Meskipun demikian, kandungan etika di dalam
hukum khususnya hukum pidana sebenarnya terbatas. Hukum pidana beranjak dari
suatu “batas etik minimum”. Dengan kata lain, dalam etika/moral ihwalnya adalah
tentang baik dan jahat, sedangkan di dalam hukum pidana persoalannya adalah
tentang jahat dan kurang jahat.
Tindak
Pidana Ekonomi Berawal dari Pelanggaran Etika Bisnis
Tindak pidana ekonomi pada dasarnya merupakan
suatu kegiatan yang dilakukan oleh pihak-pihak yang secara professional menjadi
bagian dari kegiatan ekonomi (produksi, distribusi, konsumsi dll), namun
pelaksanaannya dengan caracara yang bertentangan dengan peraturan
perundang-undangan. Kegiatan ekonomi membutuhkan keberadaan berbagai profesi,
seperti pengusaha, buruh/karyawan, konsultan, distributor dan masih banyak lagi
profesi terkait dengan kegiatan ekonomi. Oleh karena dalam kenyataan “each day
the professional must frequently shuttle between his private moral world and a
different proffesional world-a world of clients, corporations, and patients-,
When faced with a situation in his profesional world he may respond to it in an
infinitely different manner than his private moral system might dictate”. Kode
etik sebagai pedoman untuk bertingkah laku tidak terlepas dari pertimbangan
yang berdimensi moral sebagaimana makna yang dikandung dalam kata “ethics” atau
“ethikos”. Bagi yang menjalankan profesi tertentu maka kode etik menuntut agar
mereka menjalankan profesinya dengan bertanggung jawab dan dalam menjalankan
profesinya menghormati hak-hak orang lain. Sehubungan dengan itu, maka menurut
S.Y. Balian “In his professional life, he is playing a “role”according to a
general script provided by his profession”.
Adapun etika perdagangan Islam tersebut antara
lain:
a. Shidiq (Jujur); Tidak berbohong, tidak
menipu, tidak mengadangada fakta, tidak bekhianat, serta tidak pernah ingkar
janji merupakan bentuk perbuatan yang harus dilakukan oleh pengusaha muslim.
Dalam Al Qur’an, keharusan bersikap jujur dalam berdagang, berniaga dan atau
jual beli, sudah diterangkan dengan sangat jelas dan tegas yang antara lain
kejujuran tersebut di beberapa ayat dihuhungkan dengan pelaksanaan timbangan,
sebagaimana firman Allah SWT: “Dan sempurnakanlah takaran dan timbangan dengan
adil”.
b. Amanah(Tanggung jawab); Tanggung jawab di
sini artinya, mau dan mampu menjaga amanah(kepercayaan) masyarakat yang memang
secara otomatis terbeban di pundaknya.
c. Tidak Menipu; Rasulullah SAW selalu
memperingatkan kepada para pedagang untuk tidak mengobral janji atau berpromosi
secara berlebihan yang cenderung mengadaada, semata-mata agar barang
dagangannya laris terjual. Sabda Rasulullah SAW: “Sebaik-baik tempat adalah
masjid, dan seburuk-buruk tempat adalah pasar”. (HR.Thabrani)
d. Menepati Janji; Seorang pedagang juga
dituntut untuk selalu menepati janjinya, baik kepada para pembeli maupun di
antara sesama pedagang, terlebih lagi tentu saja, harus dapat menepati janjinya
kepada Allah SWT.
e. Murah Hati; Dalam suatu hadits, Rasulullah
SAW menganjurkan agar para pedagang selalu bermurah hati dalam melaksanakan
jual beli. Murah hati dalam pengertian; ramah tamah, sopan santun, murah
senyum, suka mengalah, namun tetap penuh tanggungjawab. Sementara itu, untuk
praktik bisnis di Indonesia dapat ditemukan komitmen pengusaha Indonesia dalam Anggaran
Dasar KADIN yang tertuang dalam Lampiran Keputusan Presiden Nomor 16 Tahun 2006
tentang Persetujuan Perubahan Anggaran Dasar dan Anggaran Rumah Tangga KADIN.
Pada Anggaran Dasar tersebut, pengusaha Indonesia dengan dilandasi jiwa yang
luhur, bersih, transparan, dan profesional, serta produktif dan inovatif harus
membina dan mengembangkan kerja sama sinergistik yang seimbang dan selaras,
baik sektoral dan lintassektoral, antarskala, daerah, nasional maupun
internasional, dalam rangka mewujudkan iklim usaha yang sehat dan dinamis untuk
mendorong pemerataan kesempatan berusaha yang seluas-luasnya bagi dunia usaha
Indonesia dalam ikut serta melaksanakan pembangunan nasional dan daerah di
bidang ekonomi.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar