POLITIK
HUKUM UU BIDANG EKONOMI DI INDONESIA
-
Hikmahanto Juwana –
Nama : Suri Putri Pertami
Kelas : 2EB08
NPM : 26211948
C. RAGAM
KEBIJAKAN PEMBERLAKUAN UUBIDANG EKONOMI
Dalam
penelitian atas UU bidang ekonomi maka
paling tidak ada 14 (empat belas) kebijakan pemberlakuan.
Dari keempat belas tersebut, 9 (sembilan)
kebijakan pemberlakuan masuk dalam
katagori faktor internal dan 5 (lima) masuk
dalam katagori faktor eksternal. Berikut akan dibahas satu per satu keempat belas kebijakan
pemberlakuan tersebut.
1. Faktor
Internal
Di
Indonesia kebijakan pemberlakuan UU yang
dipengaruhi oleh faktor internal kerap dijadikan
alasan filosofis atau sosiologis dari pembentukan
UU. Umumnya kebijakan pemberlakuan
ini dapat dilihat secara eksplisit dalam
konsiderans menimbang ataupun penjelasan
umum. Perumusan kebijakan pemberlakuan yang termaktub dalam konsiderans menimbang ataupun
penjelasan
umum dibuat dengan menggunakan kalimat
yang sangat panjang dan berisi lebih dari satu
pokok pikiran. Bahkan, perumusan kalimat
bersifat hiperbolis dengan menggunakan
kata-kata
yang memiliki pengertian yang sangat luas dan
abstrak.
a.
Mencapai Tujuan Pembangunan Nasional
Dalam UU
bidang ekonomi yang diteliti hampir
semua menyebutkan diberlakukan suatu UU adalah
dalam rangka pembangunan nasional hanya
dilakukan apabila ada keterkaitan yang erat
dengan apa yang hendak diatur, semisal UU
Penanaman Modal Asing. Kebijakan
pemberlakuan berupa pembangunan
nasional secara kritis dapat dipertanyakan.
Apakah pencantuman pembangunan nasional
dalam pembentukan UU bidang ekonomi
merupakan suatu keharusan? Apakah penyebutan
dilakukan karena Indonesia sebagai negara
berkembang yang sedang dalam proses membangun?
Apabila demikian bukankah tanpa pembangunan
nasional sekalipun, Indonesia akan tetap
membutuhkan UU? Selanjutnya, bukankah
berbagai UU dapat dibentuk dengan alasan
pembangunan nasional? Berbagai
pertanyaan ini pada akhirnya akan
menjurus
pada kesimpulan bahwa kebijakan pemberlakuan
berupa pembangunan nasional dicantumkan
tidak lain sebagai suatu formalitas belaka.
Ini hampir sama seperti pada suatu ketika
setiap UU yang dikeluarkan mencantumkan kata
‘revolusi.’ Sudah saatnya dalam pembentukan UU bidang ekonomi ke depan kebijakan pemberlakuan
berupa pembangunan nasional tidak lagi
dicantumkan. Ini untuk menghindari penyebutan
pembangunan nasional sebagai sesuatu
yang sakral meskipun tanpa makna. Terlebih
lagi mengingat kebijakan pemberlakuan berupa
pembangunan nasional tidak perlu dicerminkan
dalam bentuk perumusan pasal.
b.
Menggantikan Ketentuan yang TelahUsang
Kebijakan
pemberlakuan yang berikutnya adalah
dalam rangka mengganti ketentuan yang telah
usang. Penggantian ketentuan yang usang
sangat terrefleksi dalam
perumusan pasal berbagai UU bidang
ekonomi. Bila dibuat dalam bentuk matriks
maka dapat dilihat secara jelas perbedaan
antara ketentuan yang lama denganketentuan yang baru.
c.
Merespons Kebutuhan Masyarakat
Merespons
kebutuhan masyarakat merupakan
kebijakan pemberlakuan yang sering
disebut dalam berbagai UU bidang ekonomi.
Dalam konsiderans menimbang maupun
penjelasan umum kebanyakan UU bidang
ekonomi menyebutkan bahwa UU yang dibentuk
bertujuan untuk merespons kebutuhan masyarakat
atau dalam rangka mewujudkan suatu
masyarakat adil dan makmur. Sayangnya,
kebijakan pemberlakuan ini terkesan
sebagai formalitas belaka daripada sungguh-sungguh
merespons kebutuhan masyarakat. Kesan ini
didasarkan pada beberapa indikasi. Pertama,
mayoritas masyarakat terkadang
tidak merasa memiliki kebutuhan yang demikian besar sehingga memerlukan suatu UU
bidang ekonomi. Bahkan, masyarakat mustahil
dapat secara langsung menikmati berbagai
keuntungan dari UU yang dibuat. Sebagai
contoh dalam UU Rahasia Dagang meskipun
di situ jelas-jelas disebut demi kepentingan
masyarakat namun menjadi pertanyaan
besar apakah masyarakat memang memerlukannya? Kedua, penggunaan istilah “masyarakat” sangat
kabur. Mungkin saja pembuat UU hanya memfokuskan
pada masyarakat yang jumlahnya tidaklah
mayoritas. Ada kecenderungan pembuat UU bila
memikirkan masyarakat, masyarakat yang
mereka maksud terbatas pada masyarakat di Jakarta
atau kota-kota besar.
d.
Memenuhi Keinginan Memiliki HukumModern
Kebijakan
pemberlakuan UU bidang ekonomi
selanjutnya adalah dalam rangka memenuhi
keinginan Indonesia untuk memiliki hukum
modern.41 Kebijakan pemberlakuan ini meskipun
sekilas sama dengan mengganti ketentuan
yang usang namun keduanya harus dibedakan.
Mengganti ketentuan yang using adalah
keadaan di mana sudah ada ketentuan tetapi
ketentuan tersebut dianggap tidak memadai
lagi. Sementara memenuhi hasrat memiliki
hukum modern adalah suatu kondisi di mana
sebelumnya belum ada pengaturan di bidang
tersebut. Harus diakui bahwa hukum modern tidak lain adalah hukum yang dikenal di AS ataupun di sejumlah negara Eropa. Hukum modern bukanlan
hukum yang sama sekali baru namun merupakan
UU yang secara nyata dibutuhkan pada
masyarakat industri.
2. Faktor
Eksternal
Faktor
eksternal bisa mempengaruhi pembentuk
UU karena adanya ketergantungan Indonesia
secara ekonomi terhadap mereka. Semakin
sebuah negara tergantung secara ekonomi
pada negara lain atau lembaga keuangan
internasional maka semakin rentan negara
tersebut untuk diintervensi. Faktor
eksternal mempengaruhi pembentuk
UU melalui dua cara. Pertama dengan
memberi insentif. Insentif yang dimaksud
berupa hibah atau keistimewaan tertentu
(pemberian kuota dalam perdagangan internasional).
Pemberian insentif ini kemudian dikaitkan
dengan syarat untuk memberlakukan UU bidang
ekonomi tertentu. Bila tidak, insentif akan dibatalkan
atau ditunda. Cara kedua adalah dengan menerapkan sanksi. Apabila pemerintah tidak memberlakukan
UU bidang ekonomi yang diinginkan
maka negara atau lembaga keuangan
internasional terkait akan mengenakan
sanksi. Sanksi dapat berupa penghentian
fasilitas, ditundanya pemberian utang, bahkan
memasukkan Indonesia ke dalam black list dan lain
sebagainya. Cara terakhir ini sering dilakukan
dalam katian dengan UU Bidang HKI.
a.
Melindungi Investor
Negara
donor dan lembaga keuangan internasional
mempengaruhi pemerintah Indonesia
untuk memberlakukan UU bidang ekonomi
dengan tujuan untuk melindungi investasi
yang dilakukan oleh para pelaku usaha mereka.
Hal ini merupakan suatu hal yang wajar mengingat
perlindungan bagi investor asal negara
donor didasarkan pada kewajiban setiap negara
untuk melindungi individu dan badan hukum yang
menjadi warga negaranya. Kewajiban
ini muncul dalam konteks hokum internasional.
Di samping itu, sebagai pembayar pajak para
pelaku usaha berhak mendapat perlindungan
dari negaranya. Perlindungan
terhadap investor dilakukan pada saat
para investor tidak mempunyai posisi tawar (bargaining
position) yang seimbang bila berhadapan
dengan negara penerima investasi. Para
investor biasanya akan menyampaikan
keluhan
mereka kepada negaranya dan negaralah yang
kemudian berhadapan dengan negara
penerima
investasi. Mengingat negara asal investor umumnya adalah negara maju yang memiliki andil juga dalam lembaga keuangan internasional maka mereka
dapat mempengaruhi pemerintah Indonesia
secara langsung ataupun melalui lembaga
keuangan internasional.
b. Membuka
Akses Pasar Indonesia Lebih Luas
Bagi
negara maju, negara berkembang adalah
pasar yang sangat potensial bagi barang dan jasa
yang dihasilkan oleh para pelaku usahanya.
Tidak sedikit negara maju yang menggantungkan
perekonomian nasionalnya pada
investasi yang dilakukan oleh pelaku usahanya
di luar negeri. Namun permasalahan yang
sering dihadapi oleh pelaku usaha Negara maju
adalah pasar dari negara berkembang kerap
sangat tertutup. Tertutupnya pasar Negara berkembang
bisa bermacam-macam, mulai dari alasan
proteksi industri dalam negeri hingga pemberian
keistimewaan bagi pelaku usaha lokal yang
dekat dengan elit kekuasaan
Indonesia.
c.
Melakukan Harmonisasi Hukum Indonesia
Dari
perspektif negara maju, harmonisasi hukum di
negara berkembang merupakan suatu hal
penting untuk dicapai. Harmonisasi yang menjurus
pada keseragaman di bidang infrastruktur
hukum akan berdampak pada kenyamanan
untuk berinvestasi dari pelaku usaha
negara maju di negara berkembang. Inipenting di era dunia
yang tidak mengenal batas (borderless
world) dan transaksi lintas batas yang
memerlukan pengaturan hukum.
d.
Memastikan Pembayaran Utang
Permintaan
negara pemberi utang maupun
lembaga keuangan internasional untuk memberlakukan
UU bidang ekonomi juga dilakukan
dalam rangka memastikan pembayaran
utang Indonesia. Alasannya, infrastruktur
hukum yang semakin ramah dengan
investor (investor friendly) akan meningkatkan
jumlah investasi asing dan mengefisienkan
perekonomian Indonesia. Perekonomian
Indonesia yang membaik dan stabil
pada gilirannya akan berpengaruh pada pembayaran
utang oleh Indonesia.
e.
Merespons Kebutuhan Masyarakat
Dalam
berbagai kesempatan Negara donor
ataupun lembaga keuangan internasional tidak akan
secara terbuka mengungkap kepentingan
sebenarnya dalam mempengaruhi pemerintah
suatu negara untuk membentuk suatu UU.
Mereka akan membungkus kepentingan
tersebut dengan mengatakan bahwa apa
yang dilakukan adalah demi kebaikan
dan kebutuhan masyarakat dari
negara
tersebut.