INI, SISA
TANAH BEKAS PEMAKAMANNYA…
Sembilan hari sebelum
wafatnya utusan Allah SWT, Muhammad saw. Sepulang dari menunaikan haji wada’,
turun firman Allah swt, “…..wattaqu yauman…turja’uuna fiihi”
Sejak itu, tanda-tanda kesedihan sudah tampak dalam diri manusia mulia itu.
“Aku ingin mengunjungi makam para syuhada uhud,” ujarnya. Beliaupun pergi ke
lokasi makam, dan berdiri di tepi makam para sahabatnya. “Assalamualaikum ya
syuhada Uhud. Kalian telah lebih dahulu, dan kami insya Allah akan menyusul
kalian. Dan aku insya Allah akan bertemu dengan kalian.”
Dalam perjalanan pulang, Rasul saw menangis. Para sahabat bertanya, tentang
sebab tangisannya. Dengan nada lirih, nabi Allah itu mengatakan, “Aku
merindukan saudara-saudaraku..” “Bukankah kami ini adalah saudara-saudaramu, ya
rasulullah?” sergah para sahabat. Rasul menjawab, “Tidak. Kalian adalah
sahabat-sahabatku. Adapun saudara-saudaraku adalah orang yang datang setelahku,
tapi mereka beriman kepadaku meskipun tidak melihatku..”
Apakah kita termasuk
saudara-saudara Rasulullah saw yang dirindukannya itu? Seberapa besar juga
kerinduan kita kepada sang Nabi yang merindukan kita itu? Apa bukti kerinduan
kita?
Andai kita merasa sebagai saudara-saudara
yang dirindukan Rasulullah saw. Ada banyak hal yang harus kita lakukan. Dan
yang paling jelas adalah, mengikuti sunnah Rasulullah saw dalam berdakwah atau
menyerukan nilai Agama Allah ini ke banyak orang.
Kita mengambik pelajaran dari
cerita Dakwah seorang shalih yang pernah dimuat dalam majalah Al Mujtama,
“Aku mengendarai mobil disamping sebuah pasar dan melihat seorang pemuda yang
sedang memeluk seorang gadis. Aku ragu, apakah akku akan menasihatinya atau
tidak? Tapi akhirnya aku putuskan untuk berhenti dan mendekati mereka. Mellihat
aku datang, anak gadis yang tadinya sedang asyik itu terkejut dan lari.
Sementara yang pemuda, juga tampak takut dan mengira aku aparat pemerintah atau
polisi.
“Assalamu’alaikum…” sapaku. Aku kemudian menjelaskan bukan sebagai aparat atau
polisi. “Aku hanya seorang saudara yang ingin sekali menyampaikan kebaikan
untukmu dengan memberi nasihat,” jelasku. Aku lalu berbicara dengan suasana
tenang, hingga tanpa terasa, mata pemuda itu berkaca-kaca lalu air matanya
kulihat menitik. Singkat cerita, setelah itu kami berkenalan dan bertukar nomor
Hp.
Dua pekan setelah itu, aku kebetulan saja memeriksa isi dompet dan mendapatkan
nomor telepon si pemuda itu. “Aku ingin menghubunginya sekarang,” gumamku saat
itu waktu subuh. Akupun menghubunginya, “Masih kenal aku?” ia menjawab, “
Bagaimana aku bisa melupakan suara ini, suara yang telah mengantarkanku pada
hidayah dan membuatku bisa melihat cahaya dan jalan yang benar…” kami lalu sepakat
untuk berkunjung ke rumahnya pada hari itu juga setelah shalat Ashar. Tapi
allah mentakdirkan lain. Aku kedatangan tamu dan akhirnya terpaksa terlambat
memenuhi janji sekitar satu jam. Aku ragu, apakah akan tetap berangkat atau
tidak.
Akhirnya kuputuskan aku harus
menepati janji meskipun terlambat.
Aku pergi ke rumah pemuda itu dan mengetuk pintu rumahnya. Rupanya, orang tua
pemuda itu yang membukakan pintu. “Fulan ada….” Tanyaku. Pertanyaan itu
sepertinya membuat keheranan dan ia tidak menjawab apapun. Aku bertanya lagi,
“Fulan ada…?”
Orang tua itu lalu
mengatakan, “Anak muda, ini bekas tanah pemakaman Fulan. Tadi pagi kami baru
saja menguburkannya…” aku sangat terkejut dan merasa tidak percaya dengan apa
yang kudengar. Aku mencoba menerangkan dengan yakin, “Pak, pagi tadi baru saja
saya berbicara dengannya melalui telepon di waktu subuh.”
Orang tua itu terdiam heran. Iapun sama-sama nyaris tidak percaya dengan
perkataanku. Ia lalu menjelaskan, “Fulan kemarin shalat dzuhur dan duduk
membaca Al Quran di masjid, setelah itu ia pulang dan tidur sebentar di rumah.
Ketika kami ingin membangunkannya untuk makan siang ternyata ia sudah
meninggal.” Ia menerangkan lagi, “Anakky dahulunya adalah orang yang tidak malu
melakukan kemaksiatan. Tapi dua minggu terakhir keadaannya berubah. Ia menjadi
orang yang membangunkan kami untuk shalat subuh di masjid, padahal ia
sebelumnya tidak mau mendirikan shalat dan banyak melakukan keburukan. Allah
memberikan hidayah…”
Kami sama2 terdiam, kemudian ayah fulan bertanya, “Sejak kapan kamu mengenal
anak saya?” aku menjawab sambil merenung “Dua minggu yang lalu”
Menurut penulisnya ini adalah kisah nyata, silahkan ambil pelajaran apapun yang
bisa kita manfaatkan dari kisah ini. Dari kepedulian seorang muslim yang merasa
wajib menyampaikan nasihat karena Allah swt kepada si pemuda. Juga tentang
akhir hidup si pemuda yang bertolak belakang dengan rentang amalnya sebelum
bertemu dengan sang pendakwah. Hingga peristiwa luar biasa yang terjadi antara
si pemuda di waktu subuh dengan pendakwah…
Apakah rasulullah saw pernah
merindukan kita? Apakah kita adalah saudara2 rasulullah yang beriman kepadanya,
meskipun kita tidak pernah melihat dan belum pernah bertemu dengannya. Apa bukti
kita sebagai kelompok orang yang dirindukan Rasulullah saw??
Apakah kita sudah memberikan
sentuhan dakwah kepada orang2 yang ada di sekeliling kita? Mudah-mudahan kita
termasuk yang disebut Rasulullah saw sebagai saudara-saudara yang
dirindukannya…
Tidak ada komentar:
Posting Komentar