Pages

Senin, 27 Januari 2014

ARTIKEL MUSLIM



INI, SISA TANAH BEKAS PEMAKAMANNYA…

Sembilan hari sebelum wafatnya utusan Allah SWT, Muhammad saw. Sepulang dari menunaikan haji wada’, turun firman Allah swt, “…..wattaqu yauman…turja’uuna fiihi”
            Sejak itu, tanda-tanda kesedihan sudah tampak dalam diri manusia mulia itu. “Aku ingin mengunjungi makam para syuhada uhud,” ujarnya. Beliaupun pergi ke lokasi makam, dan berdiri di tepi makam para sahabatnya. “Assalamualaikum ya syuhada Uhud. Kalian telah lebih dahulu, dan kami insya Allah akan menyusul kalian. Dan aku insya Allah akan bertemu dengan kalian.”
            Dalam perjalanan pulang, Rasul saw menangis. Para sahabat bertanya, tentang sebab tangisannya. Dengan nada lirih, nabi Allah itu mengatakan, “Aku merindukan saudara-saudaraku..” “Bukankah kami ini adalah saudara-saudaramu, ya rasulullah?” sergah para sahabat. Rasul menjawab, “Tidak. Kalian adalah sahabat-sahabatku. Adapun saudara-saudaraku adalah orang yang datang setelahku, tapi mereka beriman kepadaku meskipun tidak melihatku..”

Apakah kita termasuk saudara-saudara Rasulullah saw yang dirindukannya itu? Seberapa besar juga kerinduan kita kepada sang Nabi yang merindukan kita itu? Apa bukti kerinduan kita?
Andai kita merasa sebagai saudara-saudara yang dirindukan Rasulullah saw. Ada banyak hal yang harus kita lakukan. Dan yang paling jelas adalah, mengikuti sunnah Rasulullah saw dalam berdakwah atau menyerukan nilai Agama Allah ini ke banyak orang.

Kita mengambik pelajaran dari cerita Dakwah seorang shalih yang pernah dimuat dalam majalah Al Mujtama,

            “Aku mengendarai mobil disamping sebuah pasar dan melihat seorang pemuda yang sedang memeluk seorang gadis. Aku ragu, apakah akku akan menasihatinya atau tidak? Tapi akhirnya aku putuskan untuk berhenti dan mendekati mereka. Mellihat aku datang, anak gadis yang tadinya sedang asyik itu terkejut dan lari. Sementara yang pemuda, juga tampak takut dan mengira aku aparat pemerintah atau polisi.
            “Assalamu’alaikum…” sapaku. Aku kemudian menjelaskan bukan sebagai aparat atau polisi. “Aku hanya seorang saudara yang ingin sekali menyampaikan kebaikan untukmu dengan memberi nasihat,” jelasku. Aku lalu berbicara dengan suasana tenang, hingga tanpa terasa, mata pemuda itu berkaca-kaca lalu air matanya kulihat menitik. Singkat cerita, setelah itu kami berkenalan dan bertukar nomor Hp.
            Dua pekan setelah itu, aku kebetulan saja memeriksa isi dompet dan mendapatkan nomor telepon si pemuda itu. “Aku ingin menghubunginya sekarang,” gumamku saat itu waktu subuh. Akupun menghubunginya, “Masih kenal aku?” ia menjawab, “ Bagaimana aku bisa melupakan suara ini, suara yang telah mengantarkanku pada hidayah dan membuatku bisa melihat cahaya dan jalan yang benar…” kami lalu sepakat untuk berkunjung ke rumahnya pada hari itu juga setelah shalat Ashar. Tapi allah mentakdirkan lain. Aku kedatangan tamu dan akhirnya terpaksa terlambat memenuhi janji sekitar satu jam. Aku ragu, apakah akan tetap berangkat atau tidak.
Akhirnya kuputuskan aku harus menepati janji meskipun terlambat.
            Aku pergi ke rumah pemuda itu dan mengetuk pintu rumahnya. Rupanya, orang tua pemuda itu yang membukakan pintu. “Fulan ada….” Tanyaku. Pertanyaan itu sepertinya membuat keheranan dan ia tidak menjawab apapun. Aku bertanya lagi, “Fulan ada…?”
Orang tua itu lalu mengatakan, “Anak muda, ini bekas tanah pemakaman Fulan. Tadi pagi kami baru saja menguburkannya…” aku sangat terkejut dan merasa tidak percaya dengan apa yang kudengar. Aku mencoba menerangkan dengan yakin, “Pak, pagi tadi baru saja saya berbicara dengannya melalui telepon di waktu subuh.”
            Orang tua itu terdiam heran. Iapun sama-sama nyaris tidak percaya dengan perkataanku. Ia lalu menjelaskan, “Fulan kemarin shalat dzuhur dan duduk membaca Al Quran di masjid, setelah itu ia pulang dan tidur sebentar di rumah. Ketika kami ingin membangunkannya untuk makan siang ternyata ia sudah meninggal.” Ia menerangkan lagi, “Anakky dahulunya adalah orang yang tidak malu melakukan kemaksiatan. Tapi dua minggu terakhir keadaannya berubah. Ia menjadi orang yang membangunkan kami untuk shalat subuh di masjid, padahal ia sebelumnya tidak mau mendirikan shalat dan banyak melakukan keburukan. Allah memberikan hidayah…”
            Kami sama2 terdiam, kemudian ayah fulan bertanya, “Sejak kapan kamu mengenal anak saya?” aku menjawab sambil merenung “Dua minggu yang lalu”

            Menurut penulisnya ini adalah kisah nyata, silahkan ambil pelajaran apapun yang bisa kita manfaatkan dari kisah ini. Dari kepedulian seorang muslim yang merasa wajib menyampaikan nasihat karena Allah swt kepada si pemuda. Juga tentang akhir hidup si pemuda yang bertolak belakang dengan rentang amalnya sebelum bertemu dengan sang pendakwah. Hingga peristiwa luar biasa yang terjadi antara si pemuda di waktu subuh dengan pendakwah…
           
Apakah rasulullah saw pernah merindukan kita? Apakah kita adalah saudara2 rasulullah yang beriman kepadanya, meskipun kita tidak pernah melihat dan belum pernah bertemu dengannya. Apa bukti kita sebagai kelompok orang yang dirindukan Rasulullah saw??
Apakah kita sudah memberikan sentuhan dakwah kepada orang2 yang ada di sekeliling kita? Mudah-mudahan kita termasuk yang disebut Rasulullah saw sebagai saudara-saudara yang dirindukannya…

Tidak ada komentar:

Posting Komentar